Tun Sri Lanang
Permata Melayu di Negeri Aceh
Kesultanan Aceh
Perkembangan ini sangat menggundahkan
Sultan Ali Mughayat Syah (
1514-
1530). Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam di
Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dari cengkeraman
Portugis. Keinginan Sultan ini didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan dan para pencari suaka dari Melaka yang sekarang menetap di
Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan
Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada tahun
1521, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berprinsip "Siapa kuat hidup, siapa
lemah tenggelam" oleh karenanya dalam pikiran Sultan untuk membangun
negeri yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di bidang politik
luar negeri, militer yang tangguh ekonomi yang handal dan pengaturan
hukum/ketatanegaraan yang teratur.
[2]
Dengan strategi inilah menurut pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh
Darussalam akan menjadi Negara yang akan diperhitungkan dalam percaturan
politik global sesuai dengan masanya dan mampu mengusir Portugis dari
negeri negeri Islam di
Nusantara yang telah didudukinya.
Dasar pembangunan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang digagaskan oleh
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh penggantinya seperti
Sultan Alaidin Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Mukammil
dan Iskandar Muda. Aliansi dengan negara-negara Islam di bentuk, baik
yang ada di nusantara maupun di dunia internasional lainnya, misalnya
Turki,
India, Persia, Maroko. Pada zaman inilah Aceh mampu menempatkan diri
dalam kelompok "lima besar Islam" Negara-Negara Islam di dunia. Hubungan
diplomatik dengan negeri non-muslimpun dibina sepanjang tidak
mengganggu dan tidak bertentangan dengan asas-asas kerajaan.
[3]
Perseteruan kerajaan Aceh dengan
Portugis terus berlangsung sampai tahun
1641. Akibatnya banyak anak negeri yang syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru,
Bintan,
Kedah, Johor, Pahang dan
Terengganu. Populasi penduduk Aceh menurun drastis.
Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan baru dengan menggalakkan penduduk di daerah takluknya untuk berimigrasi ke Aceh inti, misalnya dari
Sumatera Barat,
Kedah,
Pahang,
Johor dan
Melaka,
Perak,
Deli.
W. Linehan, mengatakan "
the whole territory of Acheh was almost
depopulated by war. The king endeavoured to repeople the country by his
conquests. Having ravaged the kingdoms of Johore, Pahang, Kedah, Perak
and Deli, he transported the inhabitants from those place to Acheh to
the number of twenty-two thousand person".
[4] Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (
1607-
1636).
Pada tahun
1613,
Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor seluruh penduduknya
termasuk Sultan Alauddin Riayatshah III, adiknya Raja Abdullah, Raja
Raden dan pembesar pembesar negeri Johor-Pahang seperti Raja Husein
(Iskandar Thani), Putri Kamaliah (Protroe Phang), dan Bendaharanya
(Perdana Menteri) Tun Muhammad, lebih dikenal dengan nama samarannya
"Tun Sri Lanang" dipindahkan ke Aceh dan dijadikan raja pertama
Samalanga (1615-1659). Tun Sri Lanang inilah yang akan penulis diskusikan pada hari ini didasarkan pada:
- Tiga Sultan kerajaan negeri di Malaysia yaitu Johor, Pahang dan Terengganu adalah keturunan Tun Sri Lanang.
- Pemerintah Malaysia telah menetapkan Tun Sri Lanang sebagai pujangga
agung bersama Abdullah Munsyi. Bahkan pemerintah Malaysia menempatkan
nama Tun Sri Lanang pada jalan-jalan utama dan gedung-gedung pertemuan
baik di kalangan akademik maupun tempat pertemuan lainnya.
- Karya Tun Sri Lanang "Sulalatus Salatin" telah menjadi rujukan apabila ingin menuliskan Sejarah Melayu Modern.
- Sedikit sekali masyarakat Aceh yang pernah mendengar nama Tun Sri
Lanang apalagi mempelajari kisah hidupnya padahal dia menghabiskan masa
akhir hidupnya di Aceh dan menjadi Ampon syik pertama Samalanga serta
dimakamkan di sebuah desa kecil lancok kecamatan Samalanga.
- Tun Sri Lanang ini bisa dijadikan perekat hubungan antara Aceh dengan Malaysia.
Peristiwa Laut
Pemerintahan Kerajaan Islam Aceh Darussalam menerapkan pendekatan
lunak maupun tegas untuk menjaga keutuhan wilayahnya, dari ancaman
disintegrasi bangsa baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar
negeri. Strategi lunak yaitu "politik meubisan" dan "rotasi pimpinan daerah taklukan Aceh".
Kalau jalan ini tidak berhasil Sultan akan mengerahkan angkatan
perangnya menundukkan daerah taklukannya yang melawan terhadap kebijakan
pusat.
Politik meubisan ini seperti pernah dilakukan oleh Sultan Iskandar
Muda dengan mengawinkan adiknya dengan Sultan Abdullah Ma'ayat Shah.
[5]
Kemudian Sultan Murka karena adik yang dicintainya diceraikan oleh
Sultan Abdullah. Iskandar Muda memerintahkan pasukannya untuk membumi
hanguskan Batu Sawar, ibukota Kerajaan Johor Lama pada tahun
1623. Abdullah-pun mangkat dalam pelarian di Pulau Tembelan.
Politik meubisan berhasil juga menundukkan Perak dan Pahang. Setelah
pembesar-pembesar pahang mengetahui anak negerinya Raja Mughal anak
Sultan Ahmad dinobatkan sebagai sultan Kerajaan Islam Aceh Darussalam
menggantikan Iskandar Muda pada tahun 1637 M, Adik Sultan Iskandar
Tsani, Raja Sulong menjadi Sultan Perak ke-10 dengan gelar Sultan
Muzaffar Shah II maka rakyat ke dua negeri langsung melakukan ikrar
kesetiaan mendukung keutuhan Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Tun Seri Lanang atas saran Putri Kamaliah, Sultan Iskandar Muda menjadikannya raja pertama ke Samalanga.
[6] Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan rakyat.
Penobatan Tun Sri Lanang menjadi raja Samalanga mendapat dukungan
rakyat, karena di samping dia ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam
ilmu agama,
Sultan Iskandar Muda
mengharapkan dengan penunjukan ini akan membantu pengembangan Islam di
pesisir timur Aceh. Penentangan yustru muncul dari beberapa tokoh
masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei yang menginginkan
kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga.
Alkisah menurut penuturan orang orang tua di sana. Setelah Hakim Peut
Misei dan 11 orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat
selesai membuka negeri Samalanga, bermusyawarahlah mareka siapa yang
berhak menjadi raja pertama. Di antara panitia yang terlibat dalam
persiapan pengukuhan keuleebalangan Samalanga dan daerah takluknya,
terjadi pergaduhan dan atas saran masyarakat agar ke 12 orang panitia
ini menghadap sultan Iskandar Muda, biarlah sultan yang akan menentukan
pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan Islam ini.
Sayup-sayup Puteri Pahang pun mengetahui rencana pertemuan 12 tokoh
masyarakat yang akan menghadap sultan. Ia menginginkan ke-uleebalangan
Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara bergelar Tun
Sri Lanang yang tiada lain adalah saudaranya sendiri. Siasat diatur cara
ditempuh, Tun Seri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, berpura
puralah ia sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat
bintang. Rencana Putri Pahang Tun Sri Lanang harus duluan tiba di
Samalanga dan ke 12 tokoh masyarakat ini diusahakan menggunakan jasa dia
untuk berlayar ke kuala Aceh menghadap Baginda.
Pada hari yang telah disepakati bersama, berangkatlah 12 orang
panitia menghadap tuanku sultan dengan didampingi seorang pawang dari
kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke 12 orang ini mengatur sembah sujud
kehadapan baginda dan mengutarakan maksud dan tujuan menghadap Daulat
Tuanku Meukuta Alam. Mareka meminta kepada tuanku agar salah satu dari
mareka dinobatkan menjadi uleebalang pertama Samalanga. Sultan setelah
meminta pendapat orang orang besar kerajaan dan Puteri Pahang setuju
menobatkan salah satu dari mareka menjadi raja pertama asal cincin
kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok untuk jari
kelingking mareka.
Setelah dicoba satu persatu, cincin kerajaan ini terlalu besar untuk
dipakai pada 12 orang tersebut. Puteri Pahang menanyakan pada mareka apa
ada orang lain yang tidak dibawa ke balai rung istana? Mareka dengan
hati kesal menjawab memang masih ada tukang perahu. Tun Seri Lanangpun
dihadapkan kehadapan Sultan, cincin kerajaan sangat cocok untuk jari
kelingkingnya.
Iskandar Muda menobatkan Tun Seri Lanang menjadi raja pertama
Samalanga. Sewaktu mareka pulang Tun Seri Lanang dibuang di tengah laut
di kawasan laweung kejadian ini dikenal dalam masyarakat Samalanga
Peristiwa Laut. Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung)
menyelamatkannya dan bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom
menghadap Baginda dan memberitahukan penemuan Tun Seri Lanang di Tengah
Laut. Baginda Murka dan memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek
Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani
Tun Seri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan 11 orang panitia
persiapan keuleebalangan dihukum pancung oleh sultan.
Tun Sri Lanang menjadi uleebalang pertama Samalanga pada tahun
1615-1659 M dan mangkat di Lancok Samalanga. Pada masa pemerintahannya
berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di
kawasan timur Aceh, dan tradisi ini terus berlanjut sampai dengan saat
ini. Beberapa mesjid di sana di bangun pada zamannya seperti Mesjid
Matang wakeuh, tanjungan.
Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh Tun Rembau yang lebih dikenal dengan
panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga Ampon
Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir
namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian
keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri) di
sana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang Riau,
Lingga (1688-1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat
Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga
sekarang ini.
Berpisah haluan
Institusi bendahara dalam Kesultanan Melaka, Johor, pahang, Riau dan
Lingga mungkin hampir sama dengan institusi Polem di Aceh. Dimana kalau
Panglima Polem berperan sebagai peuduk peudeung raja, institusi
bendaharapun berperan sebagai lembaga fit and proper test, penjaga adat
Raja Melayu. Institusi bendahara ini dibantu oleh Temenggong, Laksamana,
Penghulu Bendahari dan Orang-Orang Kaya.
Hubungan bendahara dengan Sultan disemenanjung pada abad 17 dan 18
sempat tidak harmonis karena beda haluan politik antara Sultan dengan
Bendahara dalam hal menyikapi masalah Aceh. Tun Seri Lanang lebih
memihak ke kesultanan Aceh dalam hal menghadapi portugis. Dalam kacamata
Tun Sri Lanang memerangi Portugis adalah jihad Islami, dan wajib bagi
setiap individu muslim memeranginya yang telah menduduki pemerintahan
negeri negeri Melayu dan setuju dengan pendapat Sultan Aceh untuk
menyerang mana mana negeri Melayu yang bersubhat dengan Portugis.
Sedangkan Sultan Johor lebih memilih bekerjasama dengan Portugis,
walaupun Kesultanan Aceh telah mengingatkan agar kerajaan melayu islam
di nusantara ini bersatu melawan musuh agama mareka.
Sultan Alaudin Riayat Shah III setelah dibebaskan oleh Sultan
Iskandar Muda dan adiknya Abdullah dikawinkan dengan adik Sultan
Iskandar Muda kembali ke Johor. Kemudian berkhianat dan akhirnya dibunuh
oleh Sultan Aceh. Sedangkan bendaharanya Tun Seri Lanang memilih tetap
tinggal dan meninggal di Aceh dan ini diakui oleh R.O. Winstedt.
[7]
Hanya saja penulis barat lebih banyak menjelekkan Aceh dalam hal
perseteruan antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Melayu di
Semenanjung. Contohnya Winstedt mengatakan "
Tun Sri Lanang of the
'Malay Annals' was a prisoner with the Sultan at Pasai (pen Samalanga)
and records in the introduction to that work that his master died at
Acheh". Bahkan W. Linehan dalam bukunya the History of Pahang hal
35-37 lebih memojokkan Aceh lagi bahkan menuduh Sultan Aceh telah
melakukan tindakan barbarous policy terhadap tawanannya.
Cuplikan pendapat di atas adalah bagian propaganda orientalis untuk
mendiskreditkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam dimata masyarakat negeri
negeri Melayu di Semenanjung. Akibatnya keturunan Tun Sri Lanang
diasingkan sampai 60 tahun di sana. Posisi Bendahara diambil alih oleh
Laksamana Tun Abdul Jamil dan keturunannya. Baru pada tahun 1688 M
posisi bendahara dikembalikan kepada Tun Abdul Majid cucu Tun Sri Lanang
melalui anaknya Tun Mat Ali.
Di bawah ini adalah kutipan sebahagian bait syair melayu yang
menggambarkan kegundahan pembesar pembesar negeri akibat tidak
harmonisnya hubungan Sultan dengan Bendahara. Syair ini dikutip dalam
buku Institusi Bendahara Permata Melayu Yang Hilang; Dinasti Bendahara
Johor - Pahang.
- Tersebut kisah bendahara Muhammad,
- Mendapat titah, Duli Hadirat,
- Walau dirasa, beban yang amat,
- Sedia dipikul, penuh semangat,
- Sultan Johor, beri amanat,
- Bukukan kisa, serta riwayat,
- Raja Melayu, dan adat istiadat,
- Supaya tak hilang, sampai kiamat,
- Dato' Bendahara, jalankan titah,
- Tiada berkira, penat dan lelah,
- Penuh tafahus, menyusun sejarah,
- Agar kisah menjadi ibrah,
- Sejarah Melayu, terbuku sudah,
- Duli Pertuan, di bawah Sembah,
- Jasa Bendahara, telah dicurah,
- Bangsa Melayu, dapat faedah,
- Sejarah Melayu, agungkan karangan,
- Bendahara Muhammad Jadi Sebutan,
- Tun Sri Lanang nama timangan,
- Pujangga Melayu, tiada tandingan,
- Suatu ketika, tersebut riwayat,
- Raja-Bendahara, hilang muafakat,
- Cuba pulihkan, tidaklah dapat,
- Berpisah haluan, tak dapat disekat,
- Bendahara Johor, berhati rawan,
- Terlerai sudah, tali ikatan,
- Kalau begitu, kehendak Sultan,
- Apa nak buat, terpaksa turutkan,
- Negeri Johor, apalah malang,
- Dato' bendahara, kini menghilang,
- Baginda Sultan, tiada terhalang,
- Mengikut rasa, alang kepalang.
- Laksamana Paduka, jadi pilihan,
- Ganti mamanda, di sisi Sultan,
- Pembesar Melayu, tiadalah aman,
- Tingkah laksamana, datangkan keruan.
- Negeri diatur, sewenang-wenang,
- Adat disanggah, alang kepalang,
- Laksamana paduka, menjadi dalang,
- Segala perintahnya, tak boleh di bangkang,
- Duduk di Riau, Sultan Johor,
- Rencana Laksamana, jelas tersohor,
- Muafakat bersama, sudah terkubur,
- Daulat raja, hilanglah luhur.
- Enam dekat, berlalu masa,
- Laksamana sekeluarga, masih berkuasa,
- Duli pertuan, tiada periksa,
- Pembesar Melayu, menjadi sisa.
- Sultan Johor, mangkatlah sudah,
- Putera Baginda, kerajaan diserah,
- Tingkah laksamana, tetap tak ubah,
- Duli Pertuan, berhati gundah.
- Sampai masanya, yang bersesuaian,
- Titah diberi, Duli Pertuan,
- Adat Melayu, ikutlah aturan,
- Supaya kita, tidak kerugian.
- Bendahara-Sultan, seperti sebadan,
- Janganlah cuba, pisah-pisahkan,
- Tali yang lerai, kita ikatkan,
- Warisan Melaka, kita sambungkan. Dst.
Penghargaan
Tun Sri Lanang dan Keluarganya diberi penghargaan khusus di Aceh. Di
samping di angkat menjadi Raja di Samalanga dan Daerah Takluknya
keluarganyapun di beri gelar kebesaran dan jabatan oleh Sultan. Seperti
gelar Seri Paduka Tuan di Acheh (Daniel Crecelius & E.A. Beardow, A
Reputed Achehnese Sarakata of The Jamalullail Dynasty, JMBRAS, vol 52,
1979 hlm 52), Puteranya Tun Rembau menjadi Panglima Aceh (Tun Sri
Lanang, Sejarah Melayu (suntingan Shellabear) 1986 hlm 156). Cucunya
(nama lupa) anak dari Tun Jenal (Zainal) dikawinkan dengan Sayyid Zainal
Abidin
dimana
nenek Zainal Abidin ini adalah adik kakek sebelah lelaki sultan
Iskandar Muda (baca Suzana Hj Othman, Institusi Bendahara Permata Melayu
yang Hilang, penerbit Persatuan Sejarah Malaysia, Johor, hlm 181-183)
Perkawinan ini merapatkan hubungan Raja Raja Negeri Melayu dengan Aceh
(lihat lampiran).
Pujangga Melayu
Tun Sri Lanang di samping ahli pemerintahan juga dikenal sebagai
pujangga melayu. Karyanya yang menumental adalah kitab Sulalatus
Salatin. Menurut Winstedt, kitab ini dikarang mulai bulan Februari 1614
dan siapnya Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai.
[8]
Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa
pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh oleh pengarang
pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap
hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat
aslinya sbb; Setelah fakir allazi murakkabun 'a;a jahlihi maka fakir
perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahadan mohonkan taufik
ke hadrat Allah, Tuhan sani'il - 'alam, dan minta huruf kepada nabi
sayyidi'l 'anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir
karanglah hikayat ini kamasami' tuhu min jaddi wa abi, supaya akan
menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini "
Sulalatus Salatin" yakni "pertuturan segala Raja-Raja". (Baca Sulatus
salatin hal 3)
Para ahli berbeda pendapat tentang pengarang sebenarnya kitab ini
misalnya Winstedt, menyebut Tun Sri Lanang sebagai penyunting saja.
Pendapat ini tidak punya landasan yang kuat, karena Syaikh Nuruddin al
Raniri dalam kitabnya Bustanul Salatin fasal ke 12 bab II menyebutkan:
"Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang kitab misrat Sulalatus
Salatin, ia mendengar daripada bapanya, ia mendengar dari pada neneknya
dan datuknya, tatkala pada hijrat al Nabi salla 'llahu 'alaihi wa
sallama seribu dua puluh esa, pada bulan Rabiul awal pada hari Ahad, ia
mengarang hikayat pada menyatakan segala raja raja yang kerajaan di
negeri Melaka, Johor, Pahang, dan menyatakan bangsa, dan salasilah
mereka itu daripada Sultan Iskandar Zulkarnain_"
Pendapat ini lebih menyakinkan penulis apalagi Hj Buyong Adil, dalam
bukunya Sejarah Johor menyatakan Tun Sri Lanang selalu berguru pada
ulama ulama terkenal di Aceh, seperti Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun
Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Assumatrani. Dalam hal ini
Syech Nurdin Arraniri tentu kenal baik dengan Tun Sri lanang. Wallahu
a'lam